Thumbnail

Mebanten Mesaiban (Ngejot): Tradisi Syukur Harian Hindu Bali

Daftar Isi:
1. Pengertian dan Landasan Filosofis Mesaiban
2. Makna dan Tujuan Mesaiban
3. Sarana yang Digunakan dalam Banten Saiban
4. Tempat untuk Menghaturkan Saiban
5. Doa dalam Yadnya Sesa
6. Kesimpulan

Mesaiban atau dikenal juga dengan istilah Mejotan merupakan tradisi Hindu di Bali yang dilakukan setelah memasak pada pagi hari. Tradisi ini, yang juga disebut Yadnya Sesa, adalah wujud dari Panca Yadnya yang menjadi bagian dari praktik sehari-hari umat Hindu di Bali. Yadnya Sesa mencerminkan prinsip anersangsya, yaitu sikap tidak mementingkan diri sendiri, dan ambeg para mertha, yakni mendahulukan kepentingan di luar diri. Tradisi ini bertujuan untuk menghormati Tuhan dan seluruh ciptaan-Nya.

Pengertian dan Landasan Filosofis Mesaiban

Mesaiban atau Mejotan berasal dari konsep Yadnya Sesa, yang secara harfiah berarti persembahan sederhana. Persembahan ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi atas rezeki yang diberikan. Umat Hindu di Bali percaya bahwa setelah makanan dimasak, persembahan harus dihaturkan terlebih dahulu sebagai bentuk bakti kepada Tuhan sebelum dinikmati.

Sebagaimana yang tertuang dalam Bhagawad Gita (bab 3, sloka 13), disebutkan bahwa:

Yajna Sishtasinah Santo, Muchyante Sarva Kilbishaih, Bhunjate Te Tv Agham Papa, Ye Pachanty Atma Karanat

Artinya: "Yang baik makan setelah upacara bakti, akan terlepas dari segala dosa, tetapi yang menyediakan makanan hanya bagi diri sendiri sesungguhnya makan dosa."

Makna dan Tujuan Mesaiban

Mesaiban mencerminkan ajaran Hindu yang mendasar, yaitu untuk tidak mementingkan diri sendiri dan mendahulukan kepentingan makhluk lain sebagai bentuk kasih sayang. Melalui tradisi ini, manusia diingatkan bahwa makanan bukan sekadar kebutuhan pribadi, tetapi juga sebagai simbol kehidupan yang patut dihormati. Tradisi ini mengandung pesan untuk menjaga keseimbangan alam serta menyadari bahwa segala rezeki yang diperoleh berasal dari Sang Hyang Widhi.

Tujuan utama dari mesaiban adalah untuk menunjukkan rasa syukur dan menyelaraskan diri dengan alam. Yadnya berfungsi sebagai sarana komunikasi dengan Sang Hyang Widhi serta dengan manifestasi-Nya, termasuk alam beserta segala makhluk hidup di dalamnya.

Sarana yang Digunakan dalam Banten Saiban

Banten saiban adalah bentuk persembahan sederhana dalam tradisi mesaiban. Biasanya, persembahan ini disajikan menggunakan daun pisang yang diisi dengan nasi, garam, dan lauk-pauk sederhana yang tersedia sesuai masakan hari itu. Tidak ada aturan khusus untuk lauk yang dihaturkan, sehingga banten saiban dapat disesuaikan dengan masakan yang ada.

Secara ideal, banten saiban dihaturkan setelah dipercikkan air bersih dan disertai dengan dupa yang menyala sebagai saksi persembahan. Namun, untuk versi sederhana, proses ini dapat dilakukan tanpa memercikkan air dan tanpa menyalakan dupa. Tradisi ini memang sengaja dirancang sederhana agar umat Hindu dapat melaksanakannya secara rutin.

Tempat untuk Menghaturkan Saiban

Terdapat lima tempat penting yang dipilih sebagai lokasi menghaturkan yadnya sesa, yang melambangkan lima elemen dasar alam (Panca Maha Bhuta):

1. Pertiwi (tanah): Banten diletakkan di pintu masuk rumah atau pintu halaman.

2. Apah (air): Ditempatkan di dekat sumur atau sumber air.

3. Teja (api): Biasanya di dapur, di atas kompor atau tungku tempat memasak.

4. Bayu (angin): Ditempatkan pada tempat nasi atau beras.

5. Akasa (eter): Diletakkan di pelinggih atau tempat sembahyang seperti pelangkiran.

Menurut Manawa Dharmasastra, terdapat beberapa tempat yang menjadi lokasi untuk menghaturkan saiban, yakni: Sanggah Pamerajan (tempat sembahyang keluarga), dapur, tempat air minum di dapur, batu asahan, lesung, dan sapu. Tempat-tempat ini diyakini sebagai lokasi di mana umat secara tidak sengaja melakukan Himsa Karma, yaitu tindakan yang tidak disengaja melukai hewan atau tumbuhan.

Doa dalam Yadnya Sesa

Doa dalam yadnya sesa ditujukan kepada Hyang Widhi melalui Istadewata, serta kepada simbol-simbol dari kekuatan alam yang melambangkan Bhuta Kala. Berikut adalah dua jenis doa dalam yadnya sesa:

1. Untuk Hyang Widhi dan Istadewata:

"OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA DEWA SUKHA PRADHANA YA NAMAH SWAHA."

Artinya: "Om Hyang Widhi, sebagai paramatma dari segala atma, semoga semua ciptaan-Mu yang berwujud dewa berbahagia."

2. Untuk Bhuta Kala di Tanah (Pertiwi):

"OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA BHUTA, KALA, DURGHA SUKHA PRADHANA YA NAMAH SWAHA."

Artinya: "Om Hyang Widhi, Engkaulah paramatma dari segala atma, semoga semua ciptaan-Mu yang berwujud bhuta, kala, dan durgha berbahagia."

Kesimpulan

Mesaiban atau Mejotan adalah tradisi penting bagi umat Hindu di Bali yang mencerminkan sikap hormat kepada Sang Hyang Widhi dan seluruh ciptaan-Nya. Persembahan sederhana ini menjadi wujud syukur dan kesadaran akan keseimbangan hidup. Melalui praktik ini, umat Hindu di Bali senantiasa diingatkan untuk mengutamakan kepentingan alam dan makhluk lain serta menjaga hubungan harmonis dengan alam semesta. Mesaiban mengajarkan kita bahwa hidup adalah bentuk yadnya atau persembahan yang perlu dilaksanakan dengan ketulusan hati sebagai bagian dari dharma dan ajaran Hindu.

Kategori: artikel
Tags: Mesaiban, Tradisi Hindu Bali, Yadnya Sesa, Mejotan, Ritual, syukur

Spot Iklan

#

Khusus member yang memiliki usaha, silahkan pasang banner di sini (GRATIS).